Jejak Emas Indonesia: Perkembangan Pertambangan dari Masa Penjajahan hingga Kini
Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan mineral yang melimpah, salah satunya adalah emas. Menurut data dari CEIC Data, produksi emas Indonesia mencapai 70.000.000 kg pada Desember 2022, meningkat 4.000.000 kg dari tahun sebelumnya. Dengan angka ini, Indonesia menempati posisi kedelapan sebagai negara penghasil emas terbesar di dunia.
Sejarah penambangan emas di Indonesia dimulai lebih dari seribu tahun lalu, seiring kedatangan imigran dari Tiongkok. Namun, penambangan saat itu masih berskala kecil dan dikelola secara individu. Perkembangan industri pertambangan emas baru mulai signifikan pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 1850, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Dienst van den Mijnwezen di Weltevreden, Batavia, yang bertugas mengelola dan mencari bahan galian tambang. Melalui lembaga ini, eksplorasi geologi dan penambangan mulai meluas ke seluruh Nusantara.
Pada akhir abad ke-19, beberapa tambang emas besar mulai dibuka, seperti tambang Lebong Donok di Bengkulu pada tahun 1899, dan tambang Lebong Tandai sekitar tahun 1906-1910. Tambang-tambang lain yang dibuka pada era ini meliputi Simau (1910), Mangani (1913), Salida (1914), Lebong Simpang (1921), dan Tambang Sawah (1923). Namun, produksi emas Indonesia sempat terhenti selama Perang Dunia II, dan hanya sedikit tambang yang kembali beroperasi setelah perang usai.
Pasca Perang Dunia II hingga pertengahan 1980-an, produksi emas di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Banyak tambang yang rusak akibat pendudukan Jepang dan revolusi berikutnya, sehingga butuh biaya besar untuk merehabilitasi dan membangunnya kembali. Hanya beberapa tambang yang berhasil direhabilitasi, seperti Tambang Emas Cikotok di Banten dan Logas di Riau oleh N.V. Perusahaan Pembangunan Pertambangan (PPP), anak perusahaan Bank Industri Negara.
Masuknya investasi asing pada tahun 1967 melalui perjanjian Kontrak Karya (KK) generasi pertama, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, memberikan dorongan besar bagi industri pertambangan emas di Indonesia. Pemerintah menyadari pentingnya modal besar untuk mempercepat pembangunan industri ini.
Pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan tambang di Indonesia untuk melakukan divestasi saham hingga 51 persen, yang harus dialihkan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta Nasional. Kebijakan ini tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2020, bertujuan untuk meningkatkan kontrol nasional atas sumber daya alam.
Saat ini, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki luas tambang emas mencapai 1.181.071,52 hektar yang tersebar di 25 provinsi. Lima tambang emas terbesar di Indonesia adalah Tambang Pongkor di Jawa Barat, Tambang Grasberg di Papua, Tambang Martabe di Sumatra Utara, Tambang Gosowong di Maluku, dan Tambang Tondano di Sulawesi Utara. Sebagian besar tambang ini dikelola oleh perusahaan swasta, dengan Grasberg menjadi salah satu tambang emas terbesar di dunia yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia.
Ke depan, potensi emas Indonesia masih sangat besar. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi dan efisiensi tambang, sekaligus memastikan bahwa keuntungan dari industri ini dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan investasi yang berkelanjutan, industri pertambangan emas di Indonesia diharapkan dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.