Dosen UI Unggul dengan Riset Siluman Ular, Terbaik di Jerman!
Geger Riyanto, dosen antropologi di Universitas Indonesia, telah mencetak sejarah dengan meraih Penghargaan Disertasi Antropologi Terbaik yang diberikan oleh Frobenius Institute, lembaga antropologi tertua di Jerman. Hal yang lebih membanggakan adalah, Geger menjadi orang pertama yang berasal dari luar Eropa yang mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Disertasinya yang berjudul Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram (Menjadi Orang Asing di Indonesia Timur: Salah Paham dan Kecurigaan terhadap Penggabungan Mitos di Kalangan Suku Buton di Seram Utara) berhasil memikat perhatian para ahli di bidangnya. Disertasi ini disusun di Institut Etnologi Universitas Heidelberg, Jerman, dan berfokus pada berbagai aspek penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Buton yang tinggal di Seram Utara, Maluku. Salah satu topik utama dalam penelitiannya adalah mitos manusia setengah ular yang sangat menarik untuk dikaji.
Mitos Manusia Setengah Ular: Sejarah dan Konflik Sosial
Salah satu bagian paling menarik dalam penelitian Geger adalah tentang mitos La Ode Wuna, seorang sosok siluman yang dikenal memiliki tubuh setengah ular. Dalam cerita ini, La Ode Wuna, yang merupakan anak dari Raja Muna, dengan tubuh bagian atas manusia dan bagian bawah seperti ular, menjadi tokoh yang sangat penting dalam kisah asal-usul orang Buton di Pulau Seram. Mitos ini bermula ketika La Ode Wuna, setelah dianggap sebagai aib oleh keluarganya karena kondisinya yang tidak sempurna, memutuskan untuk meninggalkan pulau kelahirannya, Buton, dan berkelana.
Setelah melalui perjalanan panjang, La Ode Wuna akhirnya memilih untuk menetap di Gunung Manusela, Pulau Seram, dan membangun kerajaan di sana. Legenda ini pun berkembang dan menghubungkan kisah siluman ini dengan kedatangan orang-orang Buton pertama ke Seram. Para penduduk Buton yang mulai merantau ke Seram pada abad ke-19 mulai mempercayai bahwa La Ode Wuna adalah leluhur mereka, yang membangun klaim mereka terhadap tanah Seram sebagai bagian dari hak sejarah mereka.
Mitos sebagai Sarana Klaim Sosial dan Politik
Mitos ini bukan hanya sekadar cerita mistis, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam politik sosial. Bagi masyarakat Buton, cerita La Ode Wuna digunakan untuk memperkuat klaim mereka atas tanah yang mereka tempati di Seram. Mereka merasa bahwa meskipun sering dianggap sebagai pendatang, mereka memiliki hak sejarah atas wilayah tersebut, yang sudah dihuni oleh leluhur mereka sejak lama.
Leao dalam penelitiannya juga menggali bagaimana mitos ini mempengaruhi hubungan sosial antara masyarakat Seram dan Buton. Dalam konteks ini, mitos tentang La Ode Wuna berfungsi sebagai alat untuk menegaskan identitas dan hak mereka di tanah tersebut. “Cerita ini menunjukkan bahwa mereka sudah ada di Seram sejak lama, dan mereka memiliki warisan yang mendalam di pulau ini,” ujar Geger.
Warisan Budaya yang Hidup di Masyarakat
“Benda-benda bersejarah, seperti gong atau artefak lainnya, digunakan oleh masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka sudah ada lebih dahulu di wilayah tersebut dan memiliki hak atas tanah itu,” jelas Geger. Dalam banyak kasus di Maluku, benda-benda bersejarah menjadi simbol kekuatan dan klaim tanah bagi komunitas-komunitas yang berbeda.
Konflik Sosial di Seram dan Maluku
Pemahaman Geger tentang klaim-klaim sosial ini juga merambah pada analisisnya terhadap konflik yang terjadi di Maluku antara tahun 1999 hingga 2004. Konflik ini, yang sering kali melibatkan perbedaan antara pendatang dan penduduk asli, sebenarnya mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara kecenderungan untuk mempertahankan kelompok lokal dan kebutuhan untuk berkoalisi dengan kelompok lain.
Geger menyebutkan bahwa, dalam banyak kasus, identitas sosial yang kuat sering kali menjadi benih bagi konflik. “Masyarakat seringkali berusaha mengklaim bahwa mereka adalah kelompok pertama yang ada di wilayah tersebut,” katanya. Klaim-klaim ini, yang kadang-kadang merujuk pada sejarah atau bahkan mitos kuno, dapat memperburuk ketegangan antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Antisipasi Konflik Melalui Kolaborasi Sosial
Geger juga menyoroti bagaimana masyarakat di wilayah Maluku dan bagian lain dari Indonesia Timur berusaha untuk mengantisipasi konflik dengan membangun kerja sama dan aliansi antar kelompok. Meskipun ada kecenderungan untuk berpihak pada kelompok sendiri, masyarakat seringkali menggunakan cerita, warisan budaya, dan simbol-simbol sosial lainnya untuk menciptakan jembatan antara kelompok yang berbeda.
“Untuk bertahan hidup, masyarakat akan selalu berusaha untuk merangkul yang lain. Jadi, meskipun ada kecenderungan partikularisme, kerja sama dan universalisme tetap menjadi cara untuk menjaga harmoni,” kata Geger, mengingatkan pentingnya kolaborasi untuk menghindari konflik yang lebih besar.
Dengan disertasi yang menggali secara mendalam tentang mitos, warisan budaya, dan dinamika sosial di Seram dan Maluku, Geger Riyanto telah memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia Timur, serta bagaimana sejarah dan budaya dapat membentuk identitas dan hubungan antar kelompok.