https://aaapotassiumiodide.com

G30S: Ketika Sejarah Tak Pernah Benar-Benar Usai

Pada malam kelam 30 September, sekelompok pasukan Tjakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung menjalankan misi menculik tujuh perwira militer, termasuk enam jenderal dan seorang kapten. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean. Jenazah ketujuhnya ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta, menjadi saksi bisu tragedi kelam yang mengguncang negeri. Panglima TNI Jenderal AH Nasution selamat, namun putrinya, Ade Irma Suryani, meninggal dunia. Kapten Pierre Tendean, ajudan Nasution, menjadi korban dan ikut terbunuh bersama para jenderal. Mayjen Soeharto, sebagai Panglima Kostrad, segera mengambil alih kendali dan meredam gerakan tersebut. Pemerintah menyatakan PKI berada di balik upaya kudeta tersebut. Tokoh-tokohnya diburu dan diadili, sebagian dieksekusi. DN Aidit dan Sam Kamaruzzaman, yang disebut-sebut sebagai otak utama gerakan, akhirnya tertangkap dan tewas. Gelombang penangkapan pun meluas, menghantam siapa pun yang dianggap terkait PKI atau organisasi afiliasinya. Ratusan ribu orang diduga dibunuh secara massal, dan puluhan ribu lainnya dibuang ke Pulau Buru tanpa proses hukum, termasuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dari tragedi itu, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno. Pemerintahan Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari G30S dan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Namun hingga kini, sejarah peristiwa itu terus diperdebatkan, menjadi luka terbuka yang belum jua terobati. Narasi dan tafsir terus berseliweran, sementara korban dan keluarga mereka menunggu keadilan yang tak kunjung datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *