Jejak Waktu Candi Borobudur: Antara Keagungan Sejarah dan Tantangan Konservasi
Sejak pemugarannya pada 1983 dan pengakuan UNESCO sebagai situs warisan dunia pada 1991, Candi Borobudur mengalami lonjakan jumlah pengunjung. Pada 2018, tercatat 3,66 juta wisatawan berkunjung, meningkat menjadi 3,94 juta pada 2019 sebelum turun drastis menjadi 996.000 pada 2020 akibat pandemi. Aktivitas manusia berkontribusi terhadap keausan batu penyusun candi, mendorong berbagai upaya konservasi seperti pembatasan akses, penggunaan alas pijakan kayu, dan rancangan sandal khusus bagi wisatawan. Sejarawan Peter Carey menekankan pentingnya langkah perlindungan terhadap struktur candi agar tetap terjaga. Dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9 oleh Dinasti Syailendra, Borobudur berfungsi sebagai tempat kontemplasi dan simbol hubungan raja serta rakyatnya. Meski legenda menyebut arsitek Gunadharma sebagai pembangunnya, sejarawan J.G. de Casparis memperkirakan candi ini dirancang pada masa Smaratungga dan diselesaikan di era Ratu Pramudawardhani. Arsitektur Borobudur mencerminkan filosofi Buddha dengan tiga tingkatan yang menggambarkan perjalanan spiritual menuju pencerahan. Letusan Gunung Merapi pada 1006 diduga menjadi faktor candi ditinggalkan hingga ditemukan kembali pada 1814 oleh Thomas Stamford Raffles, meskipun sejarawan Carey menilai VOC telah mengetahui keberadaannya sejak abad ke-17. Restorasi besar dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1907 dan disusul pemugaran oleh Indonesia bersama UNESCO pada 1973–1983. Lonjakan wisatawan mempercepat keausan batu, di mana daya tampung candi diperkirakan hanya 1.391 orang. Pembatasan jumlah pengunjung dan pengelolaan konservasi menjadi tantangan utama dalam menjaga kelestarian Borobudur tanpa menghilangkan akses bagi masyarakat luas.