Keraton Yogyakarta, Simbol Kejayaan Budaya Jawa
Sebagai seseorang yang pernah tinggal di Jakarta, jujur saja, saya jarang mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Museum, monumen, hingga makam pahlawan sering kali tidak masuk dalam daftar destinasi saya. Kalau dihitung, mungkin jumlah kunjungan saya ke bangunan bersejarah di Ibu Kota bisa dihitung dengan jari.
Mungkin alasan utamanya adalah karena saya kurang tertarik dengan sejarah. Ditambah lagi, kehidupan di kota besar yang serba modern membuat banyak orang, termasuk saya, lebih tertarik pada budaya luar dibanding memahami dan melestarikan sejarah bangsa sendiri.
Hal ini mirip dengan pepatah yang sering kita dengar: “Rumput tetangga selalu lebih hijau.”
Tidak bisa dimungkiri, banyak anak muda seusia saya lebih memilih menghabiskan waktu di tempat hits seperti kafe di Blok M, berburu spot foto estetik yang viral di media sosial, atau sekadar nongkrong di pusat perbelanjaan. Tempat-tempat bersejarah? Hampir tidak pernah terlintas dalam rencana.
Namun, semua itu berubah ketika saya pindah ke Yogyakarta pada Agustus lalu. Awalnya, saya tidak pernah terpikir untuk berkuliah di kota ini, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin bersyukur bisa menetap di tempat yang dikenal sebagai “Kota Pelajar” ini.
Jika diibaratkan dengan ajang balap Formula 1, Yogyakarta adalah pit stop saya dalam memahami lebih dalam budaya Indonesia sebelum mencapai garis akhir dalam perjalanan menjelajahi kekayaan sejarah negeri ini.
Mengenal Keraton Yogyakarta: Lebih dari Sekadar Bangunan Bersejarah
Kunjungan saya ke Keraton Yogyakarta sebenarnya bermula dari tugas kuliah di bidang jurnalistik. Awalnya, saya hanya berniat menyelesaikan tugas tanpa ekspektasi berlebih. Namun, siapa sangka saya justru dibuat takjub oleh pesona budaya Jawa yang begitu kuat di tempat ini.
Yang pertama menarik perhatian saya adalah para abdi dalem—orang-orang yang bertugas di dalam lingkungan Keraton. Mereka memiliki sikap penuh wibawa, rendah hati, serta menjunjung tinggi tata krama. Sikap unggah-ungguh yang mereka terapkan menjadi sesuatu yang patut dicontoh, terutama bagi saya yang baru pertama kali menetap di Yogyakarta.
Ada sebuah ungkapan yang sangat relevan: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Melihat para abdi dalem mengenakan busana tradisional lengkap dengan atribut khas budaya Jawa seolah membawa saya kembali ke masa lalu. Rasanya seperti melangkah ke zaman kolonial, di mana pakaian adat masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Selain orang-orangnya, arsitektur bangunan di dalam Keraton juga tidak kalah memukau. Meskipun ada beberapa area yang tidak bisa dimasuki oleh pengunjung, keindahan dan keunikan bangunan tetap bisa dinikmati. Salah satu ruangan yang menarik perhatian saya adalah ruang koleksi alat musik tradisional, seperti gong dan gamelan. Pada waktu-waktu tertentu, alat musik tersebut dimainkan oleh para abdi dalem, menciptakan alunan melodi khas yang begitu menenangkan.
Selain itu, Keraton juga memiliki museum kecil yang berisi koleksi peralatan makan milik keluarga Sultan. Di dalamnya terdapat set gelas, piring, mangkuk, sendok, hingga alas meja yang memiliki makna dan filosofi tersendiri. Setiap benda bersejarah itu disimpan di dalam kaca untuk melindunginya dari debu dan kerusakan.
Namun, dari semua hal yang saya lihat dan pelajari, yang paling membekas di hati adalah suasana yang saya rasakan selama berada di Keraton. Ada rasa bangga, haru, dan kagum yang bercampur menjadi satu.
Menyadari Pentingnya Melestarikan Budaya Indonesia
Selama 19 tahun hidup, saya baru benar-benar menyadari betapa kaya dan beragamnya budaya di negeri ini, khususnya budaya Jawa. Sebelumnya, saya lebih sering terpapar budaya luar, baik dari barat maupun Korea, dan tanpa sadar menganggap budaya kita sendiri sudah ketinggalan zaman.
Padahal, sebagai anak muda Indonesia, sudah seharusnya kita melestarikan dan menjaga budaya tradisional. Melihat keindahan busana, aksesori, dan arsitektur yang ada di Keraton Yogyakarta membuat saya berpikir bahwa budaya kita tidak kalah menarik dibanding budaya luar.
Di era globalisasi seperti sekarang, di mana batasan antarnegara semakin kabur, melestarikan budaya bukan berarti menolak perubahan. Justru, kita bisa memanfaatkan teknologi dan internet untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional.
Sebagai bagian dari generasi Z, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk lebih peduli dan aktif dalam menjaga warisan budaya bangsa. Jangan sampai identitas nasional kita terkikis dan budaya kita diklaim oleh negara lain hanya karena kita sendiri enggan untuk mengenalnya.
Kunjungan ke Keraton Yogyakarta mengajarkan saya banyak hal. Ini bukan sekadar perjalanan wisata, tetapi pengalaman yang mengubah cara pandang saya terhadap sejarah, budaya, dan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Semoga semakin banyak anak muda yang memiliki kesadaran yang sama, karena mencintai budaya sendiri adalah salah satu bentuk cinta kepada negeri ini.