Mengenal Sultanah Safiatuddin, Ratu Aceh yang Fasih 4 Bahasa
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki sejarah panjang tentang pemimpin-pemimpin yang bijaksana dan cerdas, salah satunya adalah Sultanah Safiatuddin. Putri tertua dari Sultan Iskandar Muda ini mencatatkan dirinya sebagai salah satu perempuan yang berhasil memimpin dengan kebijaksanaan luar biasa.
Sultanah Safiatuddin, yang dikenal dengan gelar panjangnya Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillu Ilahi fi’I Alam, naik tahta setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani, wafat. Menariknya, meskipun dilanda penentangan dari sejumlah ulama yang ragu dengan kepemimpinan perempuan, Sultanah Safiatuddin akhirnya diterima sebagai pemimpin. Perlawanan ini sempat membuat posisi raja kosong, dan hanya melalui peran besar ulama Nurudin ar-Raniri yang berhasil menengahi dan membuka jalan bagi Sultanah untuk memerintah.
Selama 35 tahun pemerintahannya, Sultanah Safiatuddin memperkenalkan banyak kebijakan yang menguntungkan rakyatnya dan mempertahankan kedaulatan Kesultanan Aceh Darussalam. Salah satunya adalah peran aktifnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, di mana ia menguasai lima bahasa termasuk bahasa Aceh, Melayu, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Hal ini membuktikan kecerdasannya dalam memimpin dan memperluas cakrawala pengetahuan masyarakat Aceh.
Sultanah juga dikenal karena kebijakannya dalam memajukan hak-hak perempuan. Selama masa pemerintahannya, ia mendirikan barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka pada 1639. Tradisi pemberian tanah kepada pahlawan perang sebagai hadiah pun dilanjutkan. Selain itu, Sultanah Safiatuddin juga memperkenalkan Cap Sikureung, yang menjadi stempel sah Kesultanan Aceh Darussalam dan simbol kekuasaan yang melindungi kedudukan perempuan pada waktu itu.
Sultanah Safiatuddin juga berhasil mempertahankan Aceh dari ancaman Belanda yang berusaha memasuki wilayahnya. Di bawah kepemimpinannya, VOC gagal menguasai perdagangan timah dan komoditas penting lainnya. Ia berhasil menjaga kemerdekaan Aceh dengan kebijakan yang tegas dan bijaksana.
Sultanah Safiatuddin meninggal dunia pada 23 Oktober 1675, meninggalkan jejak kepemimpinan yang bersejarah. Sebagai pengganti dari seorang raja laki-laki, ia mendapatkan gelar Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam, yang mencerminkan kebesarannya dalam memimpin kerajaan. Pemimpin perempuan ini tetap dikenang sebagai simbol kekuatan dan kecerdasan dalam sejarah Aceh.