https://aaapotassiumiodide.com

Mengenang Tragedi Carstensz Pyramid: Tiga Dekade Sejak Peristiwa Mencekam

Pada 20 April 1981, tiga pendaki dari Mapala Universitas Indonesia berangkat menuju dinding Carstensz Pyramid, namun hanya dua yang kembali. Tragisnya, Hartono Basuki gugur akibat luka yang dideritanya, sementara Paido Panggabean dan Hendi harus menghadapi kenyataan pahit itu di kaki gunung yang menantang. Paido mengenang dengan mata berkaca-kaca saat menceritakan tragedi tersebut 34 tahun kemudian.

Paido, yang saat itu bersama Hendi, tidak pernah melupakan momen yang mengubah hidup mereka. “Ketika helikopter mendarat, saya melihat kaki Hartono yang terjulur di luar,” katanya dengan suara terbata-bata. Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi Paido, Hendi, dan seluruh anggota Mapala UI. Namun, tragedi tersebut bukan hanya menjadi kenangan pahit, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup mereka.

Pada 5 Juni 2015, Paido kembali menapaki jalur yang sama, kali ini dengan tujuan yang berbeda. Bergabung dengan Fit@Fifty, Paido memulai pendakian Carstensz Pyramid bersama beberapa rekannya. Di usia 58 tahun, Paido memilih untuk kembali menantang dirinya, meski cuaca buruk dan fisik yang lemah menjadi tantangan tersendiri. Setelah sampai di kemah teras besar (4.600 meter), tubuhnya menggigil keras, namun tekadnya untuk melanjutkan perjalanan tak pernah pudar.

“Tidak ada yang lebih sulit selain menghadapi cuaca yang begitu dingin dan tubuh yang lelah,” kenangnya. Namun, meski sempat merasakan hipotermia, Paido terus bertahan. Ia bahkan sempat mengungkapkan penyesalannya yang sangat pribadi tentang peristiwa masa lalu yang masih membekas di ingatannya.

Bendera Mapala UI yang tertinggal di ransel Tono dan Hendi menjadi simbol perjuangan mereka dalam pendakian pertama ke Puncak Jaya pada 1972. Paido merasa bahwa perjalanannya kali ini adalah sebuah bentuk ziarah untuk menghormati rekan-rekannya yang telah gugur, terutama Tono yang kehilangan nyawanya di dinding Carstensz.

Setiap langkah Paido di jalur ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang membawa kembali kenangan tentang masa muda dan kehilangan yang tak terlupakan. Kegigihannya yang luar biasa dalam melanjutkan pendakian, meski dengan fisik yang sudah tidak sekuat dulu, menjadi bukti bahwa semangat dan tekad tidak pernah padam.

Perjalanan Paido ini bukan sekadar pendakian biasa. Ini adalah perjalanan menuju pemakaman kenangan, sebuah ziarah yang penuh dengan refleksi diri, penyesalan, dan harapan. “Saya hanya ingin sampai di teras, dan itu sudah cukup bagi saya,” ujarnya tegas, meski beberapa temannya merayu agar ia ikut hingga puncak. Namun, Paido memilih untuk tetap di tempat, memberikan penghormatan kepada sahabat-sahabatnya yang telah lebih dulu pergi.

Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, Paido dan rekannya tiba di kemah induk Lembah Danau-Danau pada malam hari, pukul 22.30. Di tengah kehangatan tenda, Paido merenung dan kembali mengungkapkan penyesalannya. Pada malam itu, saya baru menyadari bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar mendaki gunung. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kedamaian batin, untuk mengenang sahabat-sahabat yang hilang, dan untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *