Mengungkap Rahasia Aroma Mumi Mesir: Kombinasi Kulit Jeruk dan Dupa
Siapa sangka bahwa kebanyakan pengunjung Museum Mesir di Kairo tak pernah membayangkan bagaimana rasanya mencium bau dari mumi-mumi kuno yang dipamerkan di dalam kotak kaca? Namun, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of the American Chemical Society membuka pandangan baru mengenai aroma mumi. Penelitian ini menganalisis bau dari sembilan mumi manusia yang berbeda, mengungkapkan aroma kayu, rempah-rempah, herbal, serta jejak bau asap, bunga, dan debu yang tak terduga.
Emma Paolin, seorang ahli kimia dari Universitas Ljubljana, yang menjadi penulis utama studi ini, menggambarkan pengalamannya sebagai “sangat luar biasa—benar-benar luar biasa”. Penelitian ini merupakan yang pertama kalinya melakukan analisis sistematis terhadap bau mumi dari berbagai periode sejarah, mulai dari Kerajaan Baru (milenium kedua sebelum Masehi) hingga periode Romawi akhir (abad ke-3 dan ke-4 M), ketika teknik mumifikasi mulai menurun.
Matija Strlić, ahli kimia lainnya dari Universitas Ljubljana, yang memimpin penelitian ini, mengungkapkan bahwa setiap mumi memiliki bau yang sangat unik. “Ini benar-benar mengejutkan bahwa bau dari sembilan mumi yang berbeda ternyata sangat bervariasi satu sama lain,” ujarnya. Temuan ini membuka wawasan baru tentang bagaimana mumi-mumi tersebut diawetkan dan bagaimana teknik konservasi mereka setelah ditemukan.
Ide untuk mempelajari bau mumi pertama kali muncul ketika Strlić mengunjungi sebuah laboratorium konservasi dan diberi kesempatan untuk mencium aroma dari sebuah mumi yang baru saja digali. “Aromanya mirip dengan kosmetik—manis dan herbal,” kenangnya. Konservator sebelumnya pernah melaporkan bahwa mumi yang terawetkan dengan baik sering kali mengeluarkan bau manis, sementara yang membusuk menimbulkan bau tengik.
Aroma ternyata memainkan peran penting dalam budaya Mesir kuno, yang terbukti dari berbagai sumber kuno yang menyebutkan bahwa bau harum sangat dihargai, terutama dalam ritual mumifikasi. Philipp Stockhammer, seorang arkeolog dari Universitas Ludwig Maximilian di Munich, menyebutkan bahwa aroma memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat Mesir kuno, terutama untuk mumi. Barbara Huber, ahli kimia arkeologi dari Institut Geoantropologi Max Planck, juga menambahkan bahwa pendekatan sensorik ini adalah langkah besar dalam dunia penelitian, karena ini membuka cara baru untuk menggali informasi masa lalu.
Mumifikasi bukan hanya soal pengawetan tubuh, tetapi juga ritual yang kaya akan wangi-wangian. Dalam proses ini, bahan seperti resin tumbuhan, minyak, dan balsem digunakan untuk mengawetkan tubuh sekaligus memberikan aroma khas. Setiap resep pembalseman pun berbeda tergantung pada era, status sosial, dan jenis kelamin almarhum. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa beberapa bahan yang digunakan dalam mumifikasi berasal dari jalur perdagangan internasional, seperti resin Pistacia yang berasal dari Asia Tenggara.
Sementara itu, penelitian Strlić dan timnya mengambil pendekatan berbeda dengan menganalisis aroma langsung dari mumi yang ada di museum, menggunakan teknik yang biasa dipakai oleh pembuat parfum untuk mengidentifikasi aroma bunga langka. Mereka menyedot udara di sekitar mumi dan menganalisis molekul bau yang terkandung di dalamnya. Salah satu mumi yang dianalisis adalah milik Ir-Aset-Udjat, seorang wanita bangsawan Mesir, yang sarkofagusnya dihiasi gambar dan tulisan doa untuk kelimpahan makanan di alam baka.
Setelah dianalisis, para peneliti mengelompokkan bau mumi ke dalam empat kategori utama: bau dari bahan pembalseman seperti minyak, lilin, dan balsem; aroma dari minyak tumbuhan yang digunakan oleh konservator modern; bau dari pestisida sintetis yang dahulu digunakan untuk melindungi mumi; dan bau akibat degradasi mikroba selama proses ekskavasi. Beberapa bau lainnya sulit untuk dikategorikan, namun senyawa seperti furfural, yang beraroma kayu almond, kemungkinan berasal dari kain linen atau sarkofagus kayu.
Penelitian ini juga menghadirkan tantangan etis, terutama dalam menangani mumi sebagai bagian dari warisan budaya. Strlić menekankan pentingnya etika perlakuan terhadap jenazah manusia dalam penelitian semacam ini. Tim peneliti berkomitmen untuk mengikuti aturan dan norma setempat di Mesir untuk memastikan tidak ada kerusakan pada mumi-mumi yang diteliti.
Ke depan, tim berencana untuk menciptakan kembali aroma mumi dan memamerkannya di museum di Mesir dan Slovenia. Hal ini bertujuan agar pengunjung dapat merasakan langsung pengalaman aroma dari proses mumifikasi kuno, yang selama ini hanya terjebak di dalam kotak kaca museum. Strlić berharap bahwa “Aroma adalah bagian yang berharga dari warisan budaya, dan kami ingin pengalaman ini bisa dibagikan kepada publik.”