Misteri Bangsa Sarmatia di Inggris: DNA Ungkap Jejak Prajurit Nomaden
Penelitian terbaru mengungkap bahwa kerangka yang ditemukan di Cambridgeshire, Inggris, merupakan milik seorang pria dari suku nomaden Sarmatia. Temuan ini menjadi bukti biologis pertama bahwa bangsa tersebut mencapai wilayah Inggris dari ujung terjauh Kekaisaran Romawi dan menetap di pedesaan. Kerangka itu ditemukan saat penggalian proyek perbaikan jalan di antara Cambridge dan Huntingdon. Dengan menggunakan teknik ilmiah modern, para peneliti berhasil menelusuri latar belakang individu ini, yang sebelumnya tidak dapat diidentifikasi hanya berdasarkan bukti arkeologis.
Analisis DNA terhadap tulang telinga bagian dalam, yang dilakukan oleh Dr Marina Silva dari Laboratorium Genomik Kuno di Francis Crick Institute, menunjukkan bahwa pria tersebut memiliki komposisi genetik yang sangat berbeda dari penduduk Romawi-Inggris lainnya. Analisis lebih lanjut mengungkap bahwa pria yang dikenal sebagai Offord Cluny 203645 ini berasal dari wilayah yang kini meliputi Rusia selatan, Armenia, dan Ukraina. Sarmatia dikenal sebagai kelompok nomaden berbahasa Iran dengan keterampilan berkuda yang luar biasa.
Para ilmuwan dari Universitas Durham menggunakan analisis kimia pada fosil gigi untuk melacak pola makan Offord sejak kecil. Hasilnya menunjukkan bahwa hingga usia enam tahun, ia mengonsumsi tanaman C4 seperti millet dan sorgum, yang umum di daerah asal Sarmatia. Namun, seiring bertambahnya usia, pola makannya berubah menjadi gandum khas Eropa Barat, mengindikasikan bahwa ia bermigrasi ke Inggris. Catatan sejarah mendukung teori bahwa Offord mungkin adalah putra seorang prajurit kavaleri Sarmatia yang bertugas di bawah Romawi atau bahkan budaknya.
Penelitian ini mengonfirmasi bahwa pergerakan penduduk di era Romawi jauh lebih luas dari yang diperkirakan sebelumnya. Dr Alex Smith dari MOLA Headland Infrastructure menyebut bahwa metode analisis DNA dan kimia modern memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang struktur masyarakat Romawi. Sementara itu, Dr Pontus Skoglund dari Francis Crick Institute menegaskan bahwa teknologi baru ini telah merevolusi cara kita memahami sejarah, tidak hanya pada Zaman Batu dan Perunggu, tetapi juga era Romawi dan seterusnya.