Panduan Nahdlatul Ulama dalam Menetapkan Hari Raya Berdasarkan Asas Fikih
Rukyatul hilal, atau pengamatan hilal, merupakan suatu cara untuk melihat bulan sabit yang paling tipis. Proses ini dilakukan dalam tiga mode pengamatan: dengan mata telanjang, menggunakan teleskop, dan melalui kamera. Pengamatan ini digunakan sebagai acuan oleh Nahdlatul Ulama untuk menentukan waktu-waktu penting dalam kalender Hijriah, seperti awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) pada tahun 1446 H / 2025 M. Sebagai bagian dari metode prosedural dalam menentukan waktu bulan Hijriah, rukyatul hilal tidak terlepas dari dua landasan yang kuat, yaitu ilmu fikih dan ilmu falak.
Kalender Hijriah, yang berdasarkan pergerakan Bulan mengelilingi Bumi, adalah pedoman yang digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Al-Qur’an dalam surat Yasin (ayat 39-40) menjelaskan bahwa pergerakan Bulan ini menghasilkan bentuk-bentuk tertentu yang terlihat dari Bumi. Ilmu falak menyebutnya sebagai fase-fase Bulan yang terjadi akibat peredaran sinodis Bulan, yaitu pergerakan Bulan mengelilingi Bumi dengan acuan posisi Matahari.
Ada dua jenis peredaran yang dilakukan oleh Bulan dalam mengelilingi Bumi. Pertama, peredaran sideris, yaitu ketika Bulan menyelesaikan satu orbit penuh mengelilingi Bumi, yang memakan waktu sekitar 27 hari, 7 jam, dan 43 menit. Kedua, peredaran sinodis, yang mengukur waktu berdasarkan posisi Matahari, dari satu konjungsi (ijtimak) Bulan-Matahari ke konjungsi berikutnya. Karena pengaruh bentuk orbit Bulan yang elips dan gangguan gravitasi planet lain, periode sinodis ini bervariasi antara 29 hari, 6 jam, 35 menit hingga 29 hari, 19 jam, 54 menit.
Fase-fase Bulan yang terlihat, mulai dari bulan sabit tipis, bulan sabit tebal, bulan purnama, hingga bulan sabit tua, mengikuti siklus yang dipengaruhi oleh peredaran sinodis tersebut. Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, kalender Hijriah dibangun atas dua dasar: ketentuan substansial dan ketentuan prosedural. Ketentuan substansial memuat nilai-nilai yang mendalam di balik aturan-aturan kalender, sedangkan ketentuan prosedural berhubungan dengan cara-cara praktis dalam penetapan waktu, yang salah satunya adalah melalui rukyatul hilal.
Ketentuan substansial kalender Hijriah mengandung dua prinsip utama: pertama, bahwa tahun Hijriah terdiri dari 12 bulan yang tidak dapat berubah menjadi 13 bulan, sebagaimana yang bisa terjadi pada sistem kalender lainnya yang juga berdasarkan peredaran Bulan (seperti kalender lunar). Kedua, menurut hadits Nabi Muhammad SAW, setiap bulan dalam kalender Hijriah terdiri dari minimal 29 hari dan maksimal 30 hari, yang berhubungan langsung dengan periode sinodis Bulan.
Sedangkan ketentuan prosedural kalender Hijriah berfokus pada cara-cara untuk menentukan awal bulan, yang dilakukan dengan mengamati hilal. Sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW, umat Islam memulai puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri berdasarkan tampaknya hilal, dan jika hilal tidak terlihat, maka bulan tersebut dianggap genap menjadi 30 hari (istikmal).
Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa jika ada perbedaan antara ketentuan substansial dan prosedural, maka yang lebih diutamakan adalah ketentuan substansial. Sebagai contoh, dalam pembagian harta waris, ada kasus yang dikenal dengan nama umariyyatain pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab, yang menyarankan agar ketentuan substansial lebih diperhatikan meskipun ketentuan prosedural terlihat bertentangan.
Keputusan-keputusan Muktamar tentang Penetapan Awal Bulan Hijriah
Sebagai organisasi Islam yang lebih tua dari Republik Indonesia, Nahdlatul Ulama memiliki struktur dan aturan organisasi yang mengatur berbagai masalah keagamaan. Salah satunya adalah forum permusyawaratan tertinggi yang disebut muktamar, yang membahas berbagai persoalan agama, kebangsaan, dan kenegaraan.
Muktamar Nahdlatul Ulama telah mengeluarkan sejumlah keputusan penting terkait penentuan waktu bulan Hijriah. Keputusan pertama datang dari Muktamar ke-20 pada tahun 1954 di Surabaya, yang menyerukan agar pemerintah RI tidak terburu-buru mengumumkan awal Ramadhan atau hari raya sebelum ada keputusan dari Kementerian Agama RI. Keputusan ini juga mengacu pada teladan KH. Hasyim Asy’ari dalam menentukan waktu berdasarkan rukyatul hilal.
Selanjutnya, pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, keputusan kedua menegaskan bahwa apabila penetapan awal Ramadhan dan hari raya hanya didasarkan pada perhitungan, maka keputusan tersebut tidak wajib diikuti oleh warga Nahdlatul Ulama. Muktamar ke-30 pada tahun 1999 di Kediri menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh mengikuti rukyatul hilal internasional, melainkan harus mengacu pada pengamatan hilal di dalam negeri. Terakhir, keputusan keempat di Muktamar ke-34 pada tahun 2021 di Bandar Lampung menetapkan beberapa prinsip terkait laporan rukyatul hilal dan keputusan mengenai istikmal dalam kasus tertentu.
Keputusan-keputusan ini mencerminkan prinsip Nahdlatul Ulama dalam menjaga kelestarian metode rukyatul hilal, sambil tetap menghormati keputusan pemerintah dan memberikan ruang untuk perbedaan jika diperlukan.