Q’eswachaka: Jembatan Tali Terakhir Suku Inca yang Bertahan di Atas Jurang Apurimac
Di tengah ngarai curam Pegunungan Andes, suara trompet dari cangkang keong menggema, menandai dimulainya ritual kuno yang diwariskan selama berabad-abad. Dua pria berbalut jaket wol putih dan bertopi chullo berwarna cerah meletakkan janin llama ke bara api yang membara bersama jantung domba. Mereka mengangkat tangan ke langit, memohon restu dari para dewa gunung agar proses pembangunan jembatan Q’eswachaka berjalan lancar.
Victoriano Arizapana, sang chakacamayoc atau penjaga jembatan, memikul gulungan tali emas di bahunya dan melangkah menuju tepi jurang. Di bawah tatapan para pria bertopi sombrero yang berdiri hening di sekitarnya, Arizapana dengan hati-hati menaiki empat tali besar yang membentang sepanjang lebih dari 30 meter di atas jurang sedalam 22 meter, tempat Sungai Apurimac mengalir deras.
Duduk dengan kaki menjepit tali-tali besar, ia meneteskan cañazo—minuman keras khas Peru—ke setiap tali sambil memanggil nama empat dewa gunung yang diyakini menentukan nasibnya. Setelahnya, Arizapana mulai merajut jembatan menggunakan tali-tali kecil yang dipilin dari rumput ichu. Ia harus mengikat alas dan pegangan tangan di kedua sisi jembatan sambil menjaga keseimbangan agar tidak jatuh ke sungai di bawahnya. Angin pegunungan yang bertiup kencang membuat jembatan bergoyang layaknya ayunan raksasa, memaksanya berhenti sejenak untuk mencengkeram tali pegangan. Tali-tali kecil di tangannya terlepas dan jatuh ke sungai, namun Arizapana tetap tenang. Terngiang pesan sang ayah: “Percayalah pada dirimu sendiri, percayalah pada para apus, dan jangan pernah melihat ke bawah.”
Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mengambil tali cadangan, mencondongkan tubuh hingga wajahnya menyentuh tali-tali besar yang masih bergoyang, lalu melanjutkan pekerjaannya. Tugas ini bukan sekadar membangun jembatan, melainkan menjaga warisan budaya yang telah diwariskan keluarganya selama lebih dari 500 tahun.
Pada masa kejayaannya, Kekaisaran Inca yang berdiri sejak 1430-an di Cusco, Peru, membentang seluas 2 juta kilometer persegi hingga mencakup wilayah Kolombia, Ekuador, Bolivia, Chili, dan Argentina. Tanpa teknologi roda, peralatan logam, atau bahasa tertulis, mereka membangun jaringan jalan luar biasa yang disebut Qhapaq Ñan atau Jalan Kerajaan. Dengan panjang hampir 40.000 kilometer—setara dengan lingkar Bumi—jalur ini melintasi medan ekstrem: dari puncak Andes yang berselimut salju, hutan hujan Amazon, gurun Atacama, hingga ngarai-ngarai curam. Untuk menyeberangi lembah-lembah dan sungai-sungai deras, suku Inca membangun sekitar 200 jembatan tali yang dirajut dari rumput ichu, mampu menopang pasukan yang melintas.
Namun, seiring runtuhnya Kekaisaran Inca akibat penaklukan Spanyol pada 1532, hampir seluruh jembatan tali itu punah. Hanya Q’eswachaka yang tersisa—menggantung di atas Sungai Apurimac, dekat Desa Huinchiri yang berpenduduk sekitar 500 orang. Setiap tahun di minggu kedua bulan Juni, sekitar 1.100 penduduk dari empat komunitas setempat berkumpul untuk memotong dan memintal rumput ichu menjadi tali-tali sekuat baja. Tali-tali besar ditarik dari kedua sisi jurang, sementara jembatan lama diputuskan dan dibiarkan jatuh ke sungai, simbol pergantian siklus kehidupan.
Di akhir proses, Arizapana melangkah ke atas tali-tali besar, menggumamkan doa kepada Pachamama (Ibu Pertiwi), dan mulai merajut jembatan baru yang akan bertahan selama setahun ke depan. Setiap anyaman bukan hanya penghubung fisik antara dua tebing, tetapi juga pengikat antara manusia, alam, dan para dewa yang dipercaya menjaga keseimbangan kehidupan di pegunungan Andes.