Tsantsa: Tradisi Mengerikan di Amazon, Ritual Penyusutan Kepala yang Penuh Misteri
Dalam sejarah dunia, praktik penciutan kepala manusia atau tsantsa merupakan tradisi yang sarat akan mistisisme dan takhayul. Ritual ini telah lama dilakukan oleh berbagai suku di wilayah Amazon dan beberapa daerah di Pasifik. Bagi suku-suku yang menjalankannya, kepala yang diciutkan memiliki makna spiritual, digunakan sebagai lambang kemenangan perang, alat seremonial, hingga sarana untuk menakuti musuh. Bahkan, dalam beberapa kasus, kepala tersebut dijadikan komoditas perdagangan yang bernilai tinggi.
Budaya yang mempraktikkan ritual ini terutama berasal dari suku-suku Jivaroan yang tersebar di wilayah Amazon, seperti Shuar, Aguaruna, Huambisa, dan Achuar, yang kini berada di wilayah Ekuador dan Peru modern. Beberapa bukti sejarah juga menunjukkan bahwa suku Aztec serta beberapa kelompok di Venezuela mungkin pernah menjalankan ritual serupa. Meski lebih umum ditemukan di Amerika Selatan, penciutan kepala juga sempat dikaitkan dengan peradaban kuno lainnya.
Kepala yang diciutkan adalah sisa asli dari kepala manusia, meskipun ada juga versi tiruan yang dibuat dari kulit hewan atau bahan sintetis. Jika seseorang melihat tsantsa di museum, kemungkinan besar itu adalah kepala manusia yang telah melalui proses penciutan yang rumit. Tradisi ini diawali dengan pemenggalan kepala musuh dalam peperangan. Setelah itu, kepala akan diproses dengan membuang tengkoraknya dan kemudian direbus dalam air mendidih selama beberapa jam hingga ukurannya menyusut sepertiga dari ukuran aslinya. Untuk mengeraskan kulit, kepala diisi dengan batu dan pasir panas, lalu diasapi agar menghitam. Ritual ini dipercaya dapat mencegah roh korban melarikan diri serta menandai supremasi prajurit yang berhasil mengalahkan musuhnya.
Meskipun proses fisiknya memakan waktu singkat, upacara yang menyertainya bisa berlangsung selama enam hari. Namun, setelah ritual selesai, kepala yang diciutkan sering kali dibuang, dipersembahkan kepada hewan, atau bahkan dijadikan mainan anak-anak dalam suku tersebut. Namun, ketika wisatawan dan kolektor mulai tertarik untuk memilikinya, tsantsa pun berubah menjadi barang dagangan. Akibatnya, beberapa suku di Amazon mulai memburu kepala manusia hanya demi memenuhi permintaan pasar pada akhir 1800-an hingga awal 1900-an.
Seiring waktu, praktik ini mulai berkurang, terutama setelah pemerintah Ekuador dan Peru melarang perdagangan kepala manusia pada tahun 1930-an. Meski demikian, tidak ada undang-undang yang secara spesifik melarang pembuatan tsantsa, sehingga kemungkinan ritual ini masih dilakukan oleh generasi tua di beberapa komunitas terpencil. Namun, dengan semakin kuatnya pengaruh budaya dan agama Barat, pembuatan kepala yang diciutkan secara otentik diperkirakan sudah tidak dilakukan selama lebih dari dua dekade terakhir. Saat ini, banyak kepala yang diciutkan beredar di pasar global dalam bentuk replika yang dibuat dari bahan sintetis atau kulit hewan seperti kungkang, babi, atau sapi.
Terlepas dari segala kontroversinya, ritual penciutan kepala tetap menjadi bagian dari sejarah manusia yang penuh misteri, mencerminkan kepercayaan, takhayul, dan kebiasaan perang masyarakat kuno di Amazon.