Pulau Jawa Jadi Rebutan Bangsa Eropa: Pribumi Dijadikan Tentara Kolonial
JAKARTA – Mengapa Pulau Jawa menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia? Pertanyaan ini sering terlintas mengingat luasnya wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Salah satu alasan utamanya bisa ditelusuri dari sejarah panjang pertempuran bangsa Eropa yang menjadikan Jawa sebagai fokus perebutan kekuasaan.
Pulau Jawa, dengan populasi lebih dari 160 juta jiwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, kini tercatat sebagai pulau terpadat di dunia. Tak hanya memiliki populasi besar, Jawa juga merupakan pusat pendidikan, dengan banyak perguruan tinggi terkemuka yang berlokasi di sini. Namun, di balik keunggulan ini, Jawa memiliki sejarah panjang yang melibatkan eksploitasi oleh bangsa Eropa.
Kedatangan Bangsa Eropa ke Nusantara
Bangsa Eropa mulai menjelajahi wilayah Nusantara pada awal abad ke-16. Portugis adalah yang pertama kali tiba pada tahun 1511, diikuti oleh Spanyol pada tahun 1521, dan Belanda pada tahun 1596. Kedatangan mereka awalnya bertujuan untuk perdagangan, namun seiring berjalannya waktu, misi tersebut berubah menjadi upaya penjajahan.
Belanda, dengan terbentuknya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, berhasil menguasai sebagian besar perdagangan di wilayah ini. Bahkan Inggris dan Prancis pun ikut terlibat dalam upaya menguasai Pulau Jawa karena lokasinya yang strategis.
Perbudakan dan Eksploitasi di Pulau Jawa
Pulau Jawa segera menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa Eropa karena potensi ekonominya yang besar. Perang antarnegara penjajah sering kali mengakibatkan penduduk pribumi dijadikan korban. Banyak dari mereka yang akhirnya diperbudak dan dipaksa bekerja untuk kepentingan penjajah.
Budak pribumi di Pulau Jawa tidak hanya dijadikan pekerja, tetapi juga bertempat di pasar budak. Mereka yang beruntung bisa melarikan diri atau mencari pekerjaan di luar Nusantara, seperti menjadi buruh kontrak di wilayah Suriname pada akhir abad ke-19.
Dari Budak Menjadi Tentara Kolonial
Perbudakan akhirnya digantikan oleh konservasi pribumi sebagai tentara kolonial. Pada awal abad ke-19, Prancis, yang saat itu memperebutkan Pulau Jawa dari Inggris, mulai memikirkan strategi perlindungan. Ide ini berkembang ketika para pejabat Prancis melihat bahwa penduduk pribumi bisa dijadikan prajurit.
Dengan bantuan Belanda, Prancis membentuk pasukan pribumi yang dikenal dengan nama “Jayengsekar,” yang diambil dari beberapa daerah di Jawa seperti Semarang, Surabaya, dan Tegal. Para tentara ini diberikan ketidakseimbangan berupa tanah sebagai pengganti upah tunai, dan mereka bertugas menjaga wilayah-wilayah penting di Jawa.
Pada tahun 1811, tercatat terdapat sekitar 17.774 prajurit, termasuk tentara Eropa, Ambon, dan pribumi, yang bertugas di Pulau Jawa. Namun, meskipun memiliki kekuatan militer yang cukup besar, Prancis akhirnya kalah dari Inggris, yang kemudian mengambil alih kekuasaan di Jawa melalui “Perjanjian Tuntang.”
Penguasaan Singkat Inggris di Nusantara
Setelah kemenangan Inggris atas Prancis, wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris di bawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles. Selama lima tahun kekuasaan Inggris (1811-1816), beberapa dilakukan, seperti penghapusan pajak wajib dan kerja paksa, serta kebijakan yang memperbolehkan petani menentukan jenis reformasi tanaman yang ingin mereka tanam.
Namun, kekuasaan Inggris di Nusantara tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816, perubahan politik di Eropa memaksa Inggris untuk mengembalikan Hindia Belanda ke tangan Belanda. Sejak saat itu, Belanda kembali mengukuhkan kekuasaannya di wilayah Nusantara hingga Indonesia meraih kemerdekaannya di pertengahan abad ke-20.