Serangan Taktis Pangeran Diponegoro Bikin Pasukan Belanda Goyah
Strategi pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya benar-benar mengejutkan Belanda pada awal abad ke-19. Perlawanan yang begitu terorganisir dan dahsyat ini membuat Letnan Gubernur Jenderal Belanda pada waktu itu, Komisaris Jenderal Van der Capellen, terpaksa memanggil seluruh jajaran pejabat militer untuk menghadap pada tahun 1825. Yang mengejutkan adalah, dalam pertemuan tersebut, Van der Capellen mengungkapkan keterkejutannya karena ia tidak pernah mendapatkan laporan yang akurat mengenai keadaan sebenarnya di wilayah Yogyakarta dari para residen Belanda yang bertugas di sana.
Sebagai respons terhadap ketegangan yang meningkat, Raad van Indie (Dewan Hindia) segera mengadakan sidang darurat. Mereka akhirnya memutuskan untuk menunjuk Letnan Jenderal H.M. de Kock, yang menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara Hindia Timur, untuk diangkat sebagai Komisaris untuk wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. De Kock pun diberi kekuasaan penuh, baik secara militer maupun sipil, untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Keberhasilan luar biasa Pangeran Diponegoro dalam memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda tidak terlepas dari persiapannya yang matang dan latar belakang ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang menekan. Pangeran Diponegoro telah lama merasakan ketidakadilan dari sistem perpajakan yang memberatkan, penyewaan tanah yang merugikan rakyat, serta penggusuran masyarakat dari desa-desa mereka oleh para penyewa tanah apanage. Semua itu menjadi pemicu puncak ketidakpuasan yang pada akhirnya meledak menjadi pemberontakan. Selain itu, ketegangan ini diperburuk dengan meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IV, yang membuat para bangsawan yang mengelola pemerintahan semakin terpisah dari rakyat.
Berdasarkan buku “Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia”, peristiwa tersebut juga dipengaruhi oleh cita-cita Pangeran Diponegoro untuk membangun sebuah balad (negara) Islam, yang menjadi faktor utama mengapa pemberontakan ini cepat meluas dan sulit dipadamkan oleh kekuatan militer Belanda.
Namun, tak lama setelah pemberontakan Diponegoro mulai berkembang, Belanda memutuskan untuk mengganti pejabat militernya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Di Surakarta, pejabat Belanda yang baru disambut dengan sikap dingin oleh Sultan Surakarta yang masih muda, berusia 17 tahun. Dalam pertemuan dengan Sultan, pejabat Belanda mendapati bahwa Sultan Surakarta tampak tidak terlalu peduli terhadap pemberontakan Diponegoro, bahkan terkesan tidak berpihak kepada pemberontak.
Sikap acuh tak acuh Sultan Surakarta ini ternyata memberikan kelegaan tersendiri bagi Letnan Jenderal de Kock. Ia menyadari bahwa tantangan terberatnya adalah menaklukkan wilayah Yogyakarta yang sangat strategis. Meskipun demikian, de Kock juga menyadari bahwa Belanda hanya memiliki pasukan yang terbatas di daerah ini. Terdapat hanya tiga resimen tentara di Yogyakarta dan Surakarta, yang terbagi menjadi resimen infanteri, resimen hussar, dan resimen artileri, serta tambahan pasukan dari Legiun Mangkunegoro yang totalnya hanya sekitar 1.800 orang.
Dengan keterbatasan jumlah pasukan, strategi Belanda untuk menumpas pemberontakan ini sangat bergantung pada kesiapan pasukan dan kekuatan militer yang ada di tangan mereka. Meski demikian, semangat juang Pangeran Diponegoro dan pasukannya tidak mudah untuk dipatahkan. Pemberontakan ini kemudian menjadi salah satu perlawanan terbesar yang harus dihadapi oleh Belanda di tanah Jawa.