Bandung, Mimbar Dunia Ketiga yang Masih Bergema Hingga Kini
Tujuh dekade setelah Konferensi Asia Afrika (KAA) pertama digelar di Bandung pada 1955, dunia telah banyak berubah. Namun semangat dan warisan yang ditinggalkan oleh konferensi tersebut masih terasa hingga kini. Saat itu, 29 negara dari Asia dan Afrika berkumpul untuk pertama kalinya sebagai subjek sejarah, bukan objek kekuatan global. Presiden Sukarno menyambut pertemuan itu sebagai momen bersejarah, mencerminkan keberanian negara-negara baru merdeka untuk menentukan arah masa depannya sendiri di tengah dominasi dua kutub besar dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Konferensi ini melahirkan semangat solidaritas yang meluas ke berbagai sektor, termasuk budaya. Salah satunya diwujudkan melalui Festival Film Asia Afrika yang berlangsung di Jakarta pada 1964 dan dihadiri ribuan orang. Festival ini bukan hanya panggung perfilman, tetapi juga ajang mengekspresikan gagasan tentang dunia yang bebas dari hegemoni Barat. Film-film yang ditayangkan membahas beragam isu, mulai dari perjuangan perempuan hingga kritik terhadap masyarakat feodal.
Tak hanya festival, berbagai konferensi lanjutan seperti Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia, Kongres Penulis Afro-Asia, hingga Gerakan Non-Blok pun terinspirasi dari semangat Bandung. Bahkan konsep Dunia Ketiga sebagai alternatif dari dua kekuatan besar dunia lahir dari forum ini. Meski tidak semua janji dan kerja sama ekonomi terlaksana, pengaruh KAA tetap hidup. Dalam dunia yang kembali dilanda ketimpangan global dan krisis iklim, semangat Bandung tetap relevan untuk membayangkan kembali tatanan dunia yang lebih adil dan setara.