Malcolm X: Jejak Perjuangan dan Tragedi di Ujung Pidato
Malcolm X, sosok nasionalis kulit hitam yang dikenal lantang dalam memperjuangkan hak-hak orang Afrika-Amerika, dibunuh pada 21 Februari 1965 dalam usia 39 tahun. Ribuan orang memadati Harlem, New York, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada tokoh yang menginspirasi banyak orang dengan visinya yang tegas, namun juga dianggap mengancam oleh sebagian pihak. Berbeda dari para aktivis hak sipil lain yang mengusung integrasi damai, Malcolm X menganjurkan separatisme kulit hitam sebagai jalan menuju kebebasan.
Ia tewas ditembak saat bersiap memberikan pidato di hadapan Organisasi Persatuan Afro-Amerika, dengan istri serta anak-anaknya berada di antara hadirin. Pengamanan ketat diterapkan, dan para pelayat diperiksa oleh polisi untuk mengantisipasi ancaman lebih lanjut. Tiga anggota Nation of Islam dihukum atas pembunuhan itu, namun dua di antaranya akhirnya dibebaskan pada 2021 setelah ditemukan bukti yang menunjukkan kesalahan dalam proses peradilan.
Sejak kecil, Malcolm X telah mengalami kerasnya diskriminasi rasial. Ayahnya diduga tewas akibat serangan kelompok supremasi kulit putih, dan tragedi itu membuat ibunya mengalami gangguan mental, hingga ia dan saudara-saudaranya ditempatkan di panti asuhan. Masa mudanya diwarnai kehidupan kriminal, hingga akhirnya ia menemukan Nation of Islam saat dipenjara. Setelah bebas pada 1952, ia menjadi juru bicara utama kelompok tersebut dan menyebarkan ide separatisme rasial.
Namun, setelah meninggalkan Nation of Islam pada 1964, pemikirannya mulai berubah. Ia melakukan perjalanan ke Afrika dan Mekah, yang membuka matanya terhadap kemungkinan persaudaraan lintas ras. Dalam pernyataan terakhirnya, ia menekankan pentingnya keadilan dan kebebasan dengan segala cara yang diperlukan. Hingga kini, Malcolm X tetap menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan inspirasi bagi mereka yang memperjuangkan hak asasi manusia.